koranpilar.com. Tulungagung. Upaya Pemerintah Kabupaten Tulungagung untuk membuat wisata budaya jamasan Kyai Upas tampaknya jauh dari harapan. Sebab, jamasan yang dinilai sakral akan berkurang nilai kesakralannya ketika dikemas dalam bentuk wisata budaya. Hal itu diungkapkan oleh PJ Bupati Tulungagung, Heru Suseno, setelah mengikuti kegiatan jamasan Kyai Upas pada Jumat, 19 Juli 2024.
“Ya, kita mengikuti yang dulu-dulu lah. Jangan sampai ada nilai hiburannya, nilai budayanya, nilai pertunjukannya, malah aneh jadinya,” ujarnya setelah mengikuti prosesi jamasan Kyai Upas.
Heru melanjutkan bahwa jamasan Kyai Upas merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya di Kabupaten Tulungagung. Jamasan Kyai Upas rutin diadakan tiap tahun sekali pada bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Selama bertahun-tahun, jamasan Kyai Upas hanya diikuti oleh masyarakat sekitar. Heru beralasan hal itu dilakukan untuk menjaga nilai-nilai kesakralan prosesi tersebut.
“Namun nanti perlu dibuka untuk masyarakat luas, tapi kalau tidak perlu dirubah ya tidak perlu dirubah,” jelasnya.
Kyai Upas selama ini dipercaya oleh sebagian masyarakat Tulungagung sebagai pusaka peninggalan leluhur yang bisa menjaga keselamatan masyarakat Tulungagung dari bencana banjir. Dari cerita yang beredar, Tombak Kyai Upas tercipta dari lidah ular naga bernama Baru Klinting. Lidah yang terpotong itu lalu berubah menjadi sebilah keris berwarna hitam sepanjang kurang lebih 30 cm.
Jamasan tombak Kyai Upas tahun ini dilakukan kembali di Wisma Kanjengan setelah tiga tahun berturut-turut dilakukan di kantor arsip Kabupaten Tulungagung. “Ini berarti tombak Kyai Upas adalah milik masyarakat Tulungagung dan sudah kembali ke Kabupaten Tulungagung,” jelasnya. Heru berjanji akan terus melestarikan budaya jamasan Kyai Upas ini melalui agenda rutin tahunan (jp).